Rabu, 14 Januari 2009

Bab 14. Sebuah catatan (renungan) dari Bidang Sosial

Bab 14
Sebuah catatan (renungan) dari Bidang Sosial
Oleh Taslim

Setelah menjalani tugas dan memangku amanah yang diberikan sebagai ketua bidang sosial SP kurang lebih 3 thn, maka saya merasa bertanggung jawab secara moril untuk membagi ilmu atau pengalaman yang telah didapat dalam menempuh masa tugas tsb. Semoga pengalaman ini – walaupun sedikit, bisa menjadi pelajaran bagi saya pribadi dan juga bagi rekan-rekan lainnya dalam menjalani atau mengisi hidup kedepan dengan status sebagai seorang karyawan. Mungkin sebagian rekan kita tidak sempat memperhatikan masalah ini karena kesibukannya dalam berkarya, dan oleh karenanya pengalaman ini bisa bermanfaat untuk diambil sebagai satu pelajaran.

Sebagai pemangku tugas bidang sosial di organisasi karyawan ini, saya dan rekan-rekan lainnya biasa bersentuhan dan berinteraksi dengan karyawan / pensiunan atau masyarakat yang perlu mendapat bantuan. Misalnya penyaluran bantuan uang duka untuk karyawan atau keluarga karyawan yang meninggal, penyaluran bantuan pada bencana alam (diutamakan bagi karyawan kita atau pensiunan yang terkena musibah) atau penyaluran bantuan untuk masyarakat tidak mampu disekitar tempat kerja kita ini dan kegiatan sosial lainnya. Namun saya akan membatasi pada pengalaman yang diperoleh terkait dengan kehidupan karyawan dan pensinan kita, dimana itu merupakan cermin dan potret masa depan kita nantinya. Semoga Allah SWT senantiasa menuntun kita kejalan yang lurus, jalan yang diredhoinya dan senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua, amin.

Saat ini mungkin kita banyak berkonsentrasi dalam memikirkan dan mengupayakan bagaimana kita organisasi SP – khususnya bidang sosial bisa memberikan bantuan kepada pensiunan kita yang mungkin sebagian sudah tidak tahu apa yang akan dimakan atau dimana dia harus bernaung (seperti himbauan Pak Ratman), memang kelihatannya sangat tragis dan menyedihkan, namun itu real terjadi. Upaya ini memang sangat penting sebagai satu upaya meringankan beban rekan-rekan kita tsb, namun saya kira itu adalah satu langkah korektif yang sifatnya temporer, yang lebih penting bagi kita adalah upaya pencegahannya (tindakan preventif-nya), agar kita dapat melalui masa pensiun (jika kita ditakdirkan sampai kesana) dengan kondisi sehat jasmani & rohani sampai ajal menjemput.

Ketika terjadi bencana/musibah banjir di Jakarta kemarin (2006), Alhamdulillah kita berhasil memberi bantuan kepada karyawan kita termasuk pensiunan kita yang terkenah musibah banjir. Salah seorang pensiunan kita (tidak perlu saya sebutkan namanya) terpaksa mengungsi dan tinggal di salah satu penampungan pengungsi (Mushollah) disebabkan rumahnya dan seluruh isinya terendam banjir dalam waktu yang cukup lama. Waktu itu kondisi kesehatannya sudah semakin memburuk karena sebelumnya memang beliau sudah sakit-sakitan. Saya mendapat informasi dari salah seorang rekan yang dekat dengan beliau, bahwa keadaan ekonominya saat ini sangat memprihatinkan, terakhir sebelum kena musibah banjir dia punya kios dan jualan sembako, namun karena terkena tipu sehingga usahanya terpaksa ditutup. Didalam pengungsian, beliau masih sakit dan mendapat perawatan seadanya. Sebulan setelah terjadinya bencana banjir tsb, beliau meninggalkan dunia yang fana ini.
Itu salah satu contoh kehidupan pensiunan kita yang dulunya - waktu masih aktif sebagai karyawan, tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam kondisi yang memprihatinkan seperti itu. Demikian pula dengan contoh-contoh kehidupan pensiunan kita lainnya yang harus menderita dan mengalami penyakit-penyakit berat sebelum kembali kepada Tuhannya. Kita doakan semoga penderitaan yang dialami oleh sebagian pensiunan kita tsb, menjadi penghapus dosa dan mendapat tempat yang layak disisi-Nya dialam kubur dan dialam akhirat nantinya, amin.

Tentu pengalaman yang saya sampaikan ini akan kurang objektif bila hanya menyampaikan tinjauan terhadap kondisi pensiunan kita yang “kelihatannya gagal”, karena ada juga beberapa pensiunan kita yang bisa dianggap “sukses” dalam menempuh hidup sesudah beliau berkarya puluhan tahun diperusahaan ini. Salah satunya adalah sdr HRW. Mungkin ada baiknya sekilas kita melihat kebiasaan beliau selama masih aktif bekerja di perusahaan ini.
Terakhir beliau bekerja sebagai tool keeper di Departemen Maintenance. Selama berkarya diperusahaan ini beliau tidak pernah naik jabatan (yang ada adalah kenaikan gaji otomatis). Tentu prestasi beliau ini tidak saya maksudkan untuk menjadi contoh bagi rekan-rekan, namun dalam prestasi kerja yang bisa dibilang mandek seperti itu, beliau tidak terhalangi untuk selalu berbagi atau membantu orang lain baik dalam bentuk bantuan materi (seadanya) ataupun non materi.
Pertama beliau punya kebiasaan menegur atau mengingatkan kita jika melihat kita terlalu condong dalam memburu dunia dan kurang mengingat kehidupan akhirat. Itu dilakukan tanpa pandang bulu, selama beliau menganggap dia sebagai temannya, termasuk sering dilakukan kepada Pak Risman-manajer dia pada waktu itu. Sekarang beliau berdua masih sering kumpul dalam kondisi sehat rohani dan jasmani.
Beliau juga sangat senang membawa bingkisan makanan yang dibeli dipinggir jalan (ubi rebus, pisang rebus dsb) dan dibagikan kepada teman-teman kerjanya, itu dilakukan hampir tiap hari padahal gajinya tentu tidaklah tinggi dengan jabatan sebagai tool keeper. Sekarang ini, beliau telah “dilayani dunia” yang selalu diwaspadainya. Beliau sudah punya mobil bagus yang bisa mengantarkan dia ke tempat pengajian atau bersilaturahmi dengan teman-temannya. Anak-anaknya juga telah menjadi orang-orang yang sukses dan yang pasti infaq-nya semakin besar dibanding waktu masih karyawan dulu. Kita doakan semoga beliau tetap dibimbing oleh Allah SWT dalam menjalani sisa hidupnya (masa pensiunnya) dan kelak kembali kepada Allah SWT dengan ridho dan diridhoi seperti yang dicita-citakan sejak masih bekerja diperusahaan ini, amin.

Sekarang mari kita coba mengkaji penyebab dari kondisi pensiunan kita tsb (tanpa ada niat mencari kekurangan atau mengagungkan), baik yang kita anggap “gagal” maupun yang kita anggap “sukses”, sebagai usaha untuk mengambil pelajaran dan langkah preventive sebelum kita memasuki masa pensiunan nantinya, jika Allah SWT mentakdirkan kita sampai pada masa pensiun tsb. Tentu kajian ini sangat dangkal, namun saya harapkan tetap ada manfaatnya.

Pengaruh Materialisme
Kita harus mengakui bahwa industrialisasi telah menyeret banyak manusia kedalam sistem materialisme yang sangat kental, manusia seakan-akan dibuat seperti alat (bahasa kerennya sebagai asset yang berharga) dalam meraup laba (materi) yang sebesar-besarnya. Sistem dibuat sedimikian rupa sehingga manusia-manusia yang ada didalamnya dibuat terlena kemudian didorong untuk mengeluarkan segala waktu, daya dan pikirannya agar pemilik modal dapat meraup laba yang sebesar-besarnya atau meraup materi sebesar-besarnya.
Mulai metode pengajaran, bentuk pelatihan yang diterapkan sampai sistem pengupahan yang diberlakukan, semuanya sangat kental untuk membawa kita kedalam paham materialisme (menganggap bahwa semakin besar jumlah materi yang diperoleh, maka semakin besar peluang untuk menjadi bahagia). Semua kesuksesan diukur berdasarkan besar materi yang bisa diperoleh (gaji, lembur, bonus dan fasilitas lainnya).
Kondisi ini dialami oleh karyawan kita hampir tiap hari sepanjang masa kerjanya diperusahaan ini. Mereka dibentuk oleh satu kondisi yang pada dasarnya sudah keluar dari fitrahnya, sebagai mahluk rohani. Disana terbentuk manusia-manusia baru bermental firaun yang menganggap bahwa kekuasaan (jabatan) dapat melanggengkan hidupnya (melanggengkan kebahagiannya) untuk sampai masa pensiun nanti atau mungkin bisa diturunkan untuk anak cucunya kelak,
atau muncul manusia-manusia baru bermental karun yang menganggap bahwa semua keberhasilannya tsb diperoleh karena ilmunya.

Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. 28-78)
.
Kalimat tauhid Insya Allah (segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah), Lahaulah Walakuata Illah Billah (kita tidak punya daya upaya selain pertolongan Allah), masya Allah (semua terjadi karena izin Allah) serta ikrar yang disampaikan setiap sholat bahwa hidupnya, matinya serta rezekinya semuanya diserahkan hanya kepada Allah SWT dan kalimat-kalimat tauhid lainnya hanya lipstik semata, lain dibibir, lain dihati dan lain dalam pengamalannya.

Kita kadangkala sangat emosionil dalam menyikapi munculnya paham-paham baru yang mengatas namakan Islam, seperti ahmadia, syiah dsb. Tindakan-dindakan keras dilakukan untuk mengkonter munculnya paham-paham yang menyesatkan tsb yang kita anggap bisa meresahkan dan membingunkan umat ini. Tentu itu suatu langkah kewaspadaan yang baik, namun dalam menyikapi paham materialsme yang efek merusaknya jauh lebih dahsyat, kita adem-adem saja. Padahal korbannya sudah berjatuhan, jutaan bahkan mungkin sudah milyaran orang, sebagian pensiunan kita mungkin saja bagian dari korban-korban tsb. Mental munafiq tumbuh dengan suburnya, mengaku mempertuhankan Allah tapi yang disembah dan yang diagungkan adalah selain Allah (materi).

Materialisme, seperti halnya kemiskinan, kebodohan, kezaliman dan sifat-sifat kekafiran lainnya tidak bisa dilawan dengan cara lari darinya, tapi harus ditaklukan dengan menghadapinya secara langsung. Ada sebagian orang yang mengetahui kejelekan dari paham materialisme tsb lalu menjauhi hal-hal yang sifatnya duniawi (materi). Mereka tidak punya motivasi yang kuat dalam bekerja yang ada kaitannya dengan harta, karena berfikir benda-benda tsb juga tidak dibawa mati, mereka berpikiran bahwa semakin banyak harta maka peluang keneraka semakin besar karena tidak bisa mempertanggung jawabkannya dan alasan atau argumentasi lainnya. Namun kita harus mengakui bahwa pisik atau badan kita bisa saja dibawah menjauh dari yang namanya materi, namun hati kita tidak segampang itu mengkondisikannya. Badan bisa saja berada didalam mesjid tapi hati kita dalam waktu yang sama bisa menembus kegiatan jual beli di pasar, bisa menembus pekerjaan dikantor dsb.

Kita tidak dilarang untuk memanfaatkan dan menggunakan materi tsb, kita malah diperintahkan untuk memakmurkan bumi ini (memberi manfaat untuk umat manusia dan seluruh lingkungan kita) dan juga memanfaatkan materi tsb sebagai perantara dalam melaksanakan amal sholeh. Namun yang dilarang adalah mempetuhankannya, yang pada akhirnya memperlakukannya tidak sesuai dengan semestinya. Merasa sedih dan khawatir dengan tidak mendapatkannya serta senang berlebihan dengan memperolehnya. Kita juga sudah diingatkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahwa materialisme akan menjadi senjata iblis untuk menyesatkan atau menipu umat manusi. Materialisme itu pulah yang digunakan oleh iblis dalam menyesatkan nenek moyang manusia Adam AS dan isterinya Hawa.

dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)".

maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2-268)

Hampir tiap hari orang hanya berbincang tentang materi, produksi, bonus, mobil mewah, rumah bagus, kenaikan gaji, fasilitas kesehatan dsb.
Kondisi ini pulah yang dialami oleh para pensiunan kita pada waktu menjadi karyawan puluhan tahun yang lalu. Mereka digiring dan dibentuk menjadi konsumtif, berlomba sekuat tenaga mengumpulkan materi dan mengkonsumsinya sebagai bentuk peningkatan prestise (standar hidup disesuaikan dengan besar gaji/lembur yang diperolehnya bahkan bisa melebihinya), mereka berperinsip bahwa buat apa kerja keras kalau tidak untuk dinikmati, buat apa susah-susah mendapatkan prestasi dan gaji yang tinggi kalau tidak untuk kita konsumsi.
Mereka sudah menggantungkan standar kebahagiannya pada banyak tidaknya harta yang dimilikinya. Mereka menganggap bahwa Allah memuliakan dia dengan banyaknya harta yang dimilikinya dan menganggap dihinakan oleh Allah dengan sidikitnya harta yang dimiliki.

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". (QS. 89-16)

Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". (QS. 89-17)

Kita harus menyadari dan berani mengakui bahwa sistem materialisme telah merasuk dalam kehidupan kita sehari-hari dalam menjalankan tugas diperusahaan ini, harus ada kemauan dan kesadaran yang kuat untuk berusaha sekuat mungkin dan selalu berdoa kepada Allah SWT untuk bisa lepas dari sistem tsb. Sekali lagi mari kita meninjau ulang praktek-praktek kerja rutin kita yang telah kita lakukan setiap hari ini yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan mencoba merenungkan kembali makna hidup dan tujuan kita diciptakan.
Semoga Allah SWT senantiasa memberi bimbingan-Nya kepada kita semua, amin.



Obat melawan materialisme
Sekali lagi materialisme tidak bisa dilawan dengan cara lari dari materi tsb, namun harus dihadapi secara langsung seperti cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Katanya hidup ini seperti roda yang berputar, ada pula yang mengatakan seperti kegiatan tawaf mengelilingi ka’bah ada pula yang mengatakan seperti bumi mengelilingi matahari.
Hukum alam (sunnatullah) mengatur, bahwa setiap benda yang berputar perlu alat penyeimbang, para tukang ban dibengkel-bengkel mobil tahu persis prinsip ini, disana pasti disediakan alat membalance ban (velg) mobil. Teman-teman kita dibagian CBM (Maintenance) juga tahu persis prinsip ini, mereka sudah sangat familier dengan pekerjaan membalancing fan. Bumi inipun telah dibalangsing oleh Allah SWT dengan gunung-gunungnya sebagai alat counter balance.

Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk. (QS. 21-31)

Lalu kalau hidup ini seperti roda yang berputar, sehingga juga bisa timbul kondisi unbalance, lalu apa penyebab unbalanance dan bagaimana membalancingnya – apa alat counter balance-nya (counter weight-nya).

Saya akan sangat hati-hati dalam menyampaikan hal ini, karena ini masuk dalam area keyakinan yang tentunya sifatya sangat pribadi, dan saya sendiri merasa masih sangat jauh dalam menerapkan ilmu ini, namun semuanya kita serahkan kepada Allah SWT dan kita hanya berusaha saja.
Pertama, kita harus memahami bahwa kondisi unbalance pada diri setiap manusia bisa dirasakan dengan adanya rasa sedih yang tidak wajar atau rasa senang yang tidak wajar. Kita telah diperintahkan untuk beramal sebanyak-banyaknya sebagai modal keakhirat nantinya, namun setiap aktifitas amal yang kita lakukan bisa menimbulkan kondisi unbalance yang disebabkan oleh adanya kekurangan dalam usaha kita tsb (mungkin kurang ihlas melakukannya, mungkin kurang rida atau mungkin kurang bersyukur kepada Allah SWT atau memang caranya yang menyimpang). Demikian juga halnya dalam melaksanakan kewajiban menuntut ilmu, juga bisa menimbulkan efek samping yang menyebabkan kondisi unbalance ( sombong dengan ilmunya, enggan/kikir mengajarkannya dsb).
Adanya kekurangan dalam usaha (amal) kita tsb akan menimbulkan efek unbalance, seperti rasa senang berlebihan karena berhasil, timbul rasa sombong, angkuh dsb atau sebaliknya bisa juga menimbulkan rasa sedih yang berlebihan karena gagal, putus asa, rendah diri dsb. Beramal memang satu keharusan dan kewajiban, namun efek sampingnya yang bisa menimbulkan kondisi unbalance harus diusahakan seminimal mungkin.

Semakin besar usaha/amal yang kita lakukan (biasanya ditentukan oleh besarnya motivasi kita), akan berpeluang semakin besarnya unbalance yang ditimbulkannya apakah hasilnya berhasil atau hasilnya gagal. Tentu untuk mengatasinya juga diperlukan alat counter balance (counter weight) yang lebih besar pula. Seperti halnya pada mesin diesel atau genset, bahwa semakin besar mesinnya, maka semakin besar fly wheelnya (alat pembalancenya). Untuk menghindari kondisi unbalance yang tinggi, bukan motivasinya yang dikurangi tapi alat balancenya yang harus disesuaikan atau diperbesar.

Kita ambil satu contoh, bila seseorang menerima kabar bahwa dia telah dipromosikan menduduki jabatan yang lebih tinggi (menjadi direktur pada perusahaan besar misalnya), promosi yang diterima orang tsb bisa menimbulkan kondisi unbulance yang cukup tinggi, tapi bisa juga unbalance yang diterimanya sedang-sedang saja tergantung kemampuannya membalance kedaan tsb dan tergantung berapa besar cintanya pada hasil usaha tsb (pengaruh sistem materialisme dalam dirinya). Demikian juga sebaliknya, jika seseorang mendapat musibah seperti usaha yang dirintisnya bertahun-tahun gagal, orang tsb pasti akan mengalami kondisi unbalance, namun lagi-lagi besar getarannya tergantung pada kemampuan orang tsb membalance kondisi tsb. Kemampuan membalance suatu keadaan sangat ditentukan oleh tingkat keimananan seseorang (tingkat keihlasan, keridaan dan syukurnya kepada ALLah SWT) atau sejauh mana paham materialisme merasup dalam dirinya atau sejauh mana dia membiasakan diri dalam mepraktekan alat-alat yang tergolong counter balance dalam kehidupannya sehari-hari. Kebiasaan melaksanakan alat-alat membalance tsb akan mampu mengurangi atau mengiliminir paham materialisme pada diri kita. Sekarang pertanyaannya adalah apakah alat counter balance itu ?.

Alat counter balance disini tidak lain adalah amal-amal ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulull SAW, yaitu:

sholat yang khusyu – termasuk membiasakan diri melaksanakan sholat sunnah (tentu tahajud sangat dianjurkan), puasa sunnah senin-kamis (puasa daud), membiasakan diri berinfaq dan bersedekah (dalam kondisi senang dan sulit), rutin membaca atau mengkaji Al-Quran, berzikir atau berdoa yang semuanya diniatkan karena Allah SWT semata.

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka (membalance), dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu – sebelum (mereka mengikuti Rasul), mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. 3-164)

Namun dari alat-alat membalance (counter weight) yang telah disebutkan tsb, yang paling umum digunakan dan dianjurkan untuk mengeliminir kondisi unbalance kelas tinggi adalah bersedekah (berinfaq), puasa sunah dan sholat malam. Coba lihat berapa banyak perintah dalam Al-Quran yang memerintahkan untuk menebus kesalahan yang tergolong besar dengan perintah memberi makan fakir miskin atau melakukan puasa serta kaitan antara perintah mendirikan sholat malam dengan besar tugas yang akan diembang.

Hai orang yang berselimut (Muhammad) (QS. 75-1)
bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya) (QS. 75-2)
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS. 75-5)

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan (membalance) mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 9-103)

Mungkin ada rekan-rekan yang mengatakan bahwa dalam kondisi unbalance yang disebabkan karena kita menerima rezeki yang besar secara tiba-tiba, sangat wajar jika alat counterbalance-nya (counter weightnya) adalah berinfaq dengan jumlah yang sesuai, namun bagaiman alat ini (berinfaq) kita gunakan untuk kondisi unbalance karena terkena musibah, usahanya bangkrut misalnya. Ini kelihatannya tidak bisa diterima oleh akal sehat – mana bisa orang dalam kondisi bangkrut disuruh berinfaq. Suatu pertanyaan yang wajar, namun coba baca dan hayati surah 65 – 7 dibawah :

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. 65 -7).

Jika kita cermati ayat diatas, terlihat bahwa sebenarnya sumber dari kondisi unbalance (rasa senang yang berlebihan atau rasa sedih yang berlebihan) adalah sama yaitu karena besarnya cinta kita terhadap benda tsb (masuknya paham materialisme dalam diri kita). Jadi sangat wajar jika alat membalancenya juga sama yaitu berinfaq atau bersedekah guna mengeliminir cinta kita pada benda tsb.

Usaha melakukan aktifitas yang tergolong alat membalance diatas tidak harus hanya dilakukan jika kita mengalami kondisi unbalance, namun harus rutin dilakukan dengan jumlah dan qualitas yang semakin meningkat bila kita menginginkan dan mentargetkan mendapat kondisi balance nol mm/sec, sampai pada derajad jiwa yang suci. Termasuk dalam hal ini adalah melanggenkan berzikir kepada Allah SWT setiap waktu, sebagai amal untuk lebih memperhalus vibrasi diri kita masing-masing, sampai ajal menjemput kita.
Kemampuan berzikir (mengingat) Allah SWT adalah merupakan barometer yang paling canggih untuk mengetahui tingkat unbalance kita. Semakin rendah kondisi unbalance kita, maka semakin mudah melakukan zikir kepada Allah SWT. Jika kondisi unbalance kita berada pada titik yang sangat tinggi maka alat counter balance dengan berzikir tidak akan memberi hasil yang optimal atau sulit melaksanakannya. Dalam kondisi ini kita harus menggunakan alat counter balance untuk kondisi unbalance kelas tinggi yaitu berpuasa, berinfaq dan Sholat Malam secara rutin sampai kita lebih mudah dalam menerapkan alat counter balance lainnya (belajar Al-Quran dan rutin berzikir kepada Allah SWT).

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. (QS. 89 – 27,28)

Usaha melakukan kegiatan yang tergolong alat conter balance diatas (Sholat malam, berinfaq atau bersedekah, puasa sunah senin – kamis atau alat balance lainnya seperti mempelajari al-quran atau melanggengkan berzikir) hanya merupakan alat, hasilnya atau outputnya sendiri tidak lain adalah sifat atau ahlak dari orang tsb. Insya Allah orang yang senantiasa rutin melaksanakan alat-alat membalance tsb, akan memiliki ahlak yang mulia.
Kita ambil satu contoh saja, kita mungkin pernah memarahi anak kita atau mungkin memarahi orang lain karena dia merusak atau menghilangkan barang kesukaan kita, marah disini sebagai sifat yang buruk, disebabkan karena kita mencintai barang yang dirusak atau dihilangkan tsb, jadi sumber penyebab dari marah kita tsb tak lain adalah materialisme itu sendiri (menganggap bahwa barang bisa memberikan atau menghilangkan kebahagian, kehormatan kita).

Mungkin ilmu atau metode ini dianggap terlalu menyederhanakan usaha untuk mendapatkan manusia unggul seperti yang banyak diajarkan dalam pelatihan leader ship yang biasa kita dapatkan dalam pelatihan-pelatihan diperusahaan ini. Namun tidak ada salahnya untuk kita coba praktekkan dan lihat hasilnya sama-sama. Nanti kita bisa berbagi pengalaman dalam mempraktekan ilmu ini, mungkin 1 tahun, 2 tahun atau setelah kita pensiun nantinya (jika umur kita dipanjangkan oleh Allah SWT). Karena kita juga harus mengakui bahwa kita sudah mendapatkan banyak sekali jenis pelatihan diperushaan ini, namun ahlak kita tidak maju-maju juga, mungkin sampai menjadi pensiun (usia tua) nantinya jika tidak dilakukan terobosan dengan cara atau metode yang lain.

Sementara kita juga mengetahui bahwa Rasulullah sendiri telah mengkader sahabat-sahabatnya dengan cara khusus dan menghasilkan manusia-manusia unggul yang telah digaransi oleh Allah SWT sebagai umat terbaik yang pernah lahir dimuka bumi ini. Umar Bin Hattab misalnya, orang yang begitu kasar bisa dirubah menjadi manusia unggul dengan hati yang sangat lunak (cepat menangis) dalam waktu yang sangat singkat. Thoriq bin siab sebagai seorang budak dididik dengan ajaran Rasulullah sampai dia menjadi seorang panglima yang bisa menembus daratan eropa dan tetap bersifat suhud (dapat menahan diri) dengan materi yang melimpah yang ditemuinya didaerah baru tsb (spanyol).

Sekarang mari kita coba lihat salah satu contoh ahlak Rasulullah SAW sendiri yang saya kutip pada kolom hikmah harian republika tanggal 17 Oktober 2007.

Di sebuah sudut Kota Madinah, selalu mangkal seorang pengemis Yahudi buta. Setiap orang yang mendekati, ia selalu berkata, ''Wahai Saudaraku, jangan engkau dekati Muhammad yang mengaku sebagai Rasul itu. Dia gila, pembohong, dan tukang sihir. Jika kamu mendekatinya, dia akan memengaruhimu.''

Walau sebegitu busuk hati dan perbuatan pengemis itu, setiap pagi Rasulullah selalu membawakan makanan untuknya. Tanpa berkata, beliau menyuapi pengemis itu. Rasulullah melakukan hal ini hingga wafat.

Ketika Abu Bakar berkunjung ke rumah Aisyah, beliau bertanya, ''Wahai anakku, adakah sunah Rasulullah yang belum aku kerjakan?'' Aisyah menjawab, ''Wahai ayah, engkau ahli sunah, hampir tidak ada sunah yang belum Ayah lakukan, kecuali setiap pagi Rasulullah pergi ke ujung pasar dengan membawa makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana.''

Keesokan harinya Abu Bakar pergi ke sudut pasar dengan membawa makanan. Abu Bakar memberikan makanan kepada sang pengemis. Ketika mulai menyuapi, pengemis marah sambil berteriak, ''Siapa kamu?'' Abu Bakar menjawab, ''Aku orang yang biasa.'' Pengemis membantah, ''Engkau bukan orang yang biasa datang. Apabila orang itu datang, tanganku tidak akan susah memegang dan mulutku tidak akan susah mengunyah. Orang itu selalu menghaluskan makanan terlebih dahulu sebelum menyuapkannya kepadaku.''

Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya. Ia menangis sambil berkata jujur, ''Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku sahabatnya. Orang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.'' Setelah pengemis Yahudi itu mendengar cerita Abu Bakar, ia menangis dan berkata, ''Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tapi ia tidak pernah memarahiku sedikit pun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia.'' Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya masuk Islam dan bersyahadat di hadapan Abu Bakar.

Itulah salah satu contoh ahlak sebagai output dari manusia yang telah memiliki tingkat vibrasi yang paling rendah, vibarasi yang paling halus (manusia suci). Sementara kita ketahui bahwa beliaulah manusia yang pernah menerima tugas dan tanggung jawab yang paling besar yang telah diberikan Allah SWT kepada ummat manusia, sebagai pembawa Din dan sebagai contoh bagi ummat manusia sampai akhir jaman, sebagai rahmat bagi alam semesta, tentu satu tugas yang maha besar.
Beliau juga yang telah mencontohkan salah satu alat counter balance yang rutin belia lakukan, sholat tahajud (sholat malam). Sampai-sampai, Aisya pernah menyampaikan kepada beliau, bahwa bisakah intesitas sholat malamnya dikurangi, bukankah beliau sudah dijamin masuk surga dan sudah dijamin tanpa dosa. Namun apa jawab beliau, ”Ya Aisyah, apakah tidak pantas saya tergolong orang yang bersyukur”.

Kegiatan atau aktifitas yang membuat kondisi unbalance menjadi tinggi.
Bagi oarang-orang yang tidak memahami cara balancing yang tepat seperti disebutkan diatas, kadang kala mereka merespon kondisi unbalance tsb yang justru semakin meningkatkan kondisi unbalance pada dirinya. Misalnya, orang yang mendapatkan rezeki secara tiba-tiba, seringkali orang merespon kondisi senangnya (kondisi unbalancenya) dengan menghabiskan uang yang baru diterimanya dengan membeli barang mewah atau aktifitas hura-hura lainnya yang mana kegiatan tsb sebenarnya malah akan semakin menambah kondisi unbalancenya.
Saya ingat cerita ketika terjadi krismon tahun 1997 yang lalu, sebagian masyarakat kita di Sulawesi pada saat krismon itu terjadi - justru mendapatkan rejeki nomplok yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Para petani tambak udang mendapat rejeki nomplok dengan kenaikan nilai dollar karena produknya diexport ke jepang, demikian juga para petani coklat. Setelah mendapat rejeki yang tidak diduga-duga sebelumnya tsb, sebagian dari mereka langsung menunaikan ibadah haji, namun disamping naik haji juga mereka menghabiskan uangnya dengan membeli barang-barang lux yang sebenarnya tidak diperlukan, seperti membeli kulkas dimana didaerahnya belum ada aliran listrik, akibatnya kulkasnya hanya digunakan sebagai lemari pakaian. Sebagian membawa uang dalam karung ke show room mobil untuk membeli mobil baru. Malah ada yang terkena stres, datang dikebung coklatnya sambil nunjuk sana nunjuk sini sendirian. Inilah salah satu contoh cara merespon unbalance yang salah saat menerima kesenangan yang berlebih. Kalau sekarang, mungkin yang populer adalah lari ke narkoba dsb.
Jika cara merespon kondisi unbalance tidak tepat seperti disebutkan diatas dan berlangsung dalam waktu yang lama, puluhan tahun misalnya, maka walaupun kelihatan kecil (rasa senang karena menerima lembur, menerima bonus dan promosi jabatan atau sebaliknya menemui kegagalan dalam berkarier), akan menciptakan seseorang dengan kondisi unbalance yang cukup tinggi. Kondisi seperti ini akan sangat berisiko dan fatal akibatnya jiga terjadi dan dibawah sampai usia tua (masa pensiun misalnya), dimana pisiknya sudah tidak mampu menerima vibrasi yang tinggi. Dan mungkin inilah yang dialami oleh sebagian pensiunan kita dalam menjalani kehidupannya selama masih berstatus sebagai karyawan sampai memasuki masa pensiunnya.
Semoga kita yang masih berstatus sebagai karyawan (calon pensiunan) ini bisa membalance diri kita dengan tepat sampai kita memasuki masa pensiun dan sampai kita kembali ke sang Haliq Allah SWT dan semoga kita bisa melepaskan diri dari pengaruh kuat dari sistem materialisme yang telah mendompleng sangat kuat dibalik sistem industrialisasi dan modernisasi sekarang ini.

Mudah-mudahan renungan ini, sebagai satu bagian dari pertanggung jawaban bidang sosial dapat memberi manfaat, walaupun saya sangat berat menyampaikannya karena saya sendiri masih sangat jauh dari kondisi balance tsb. Tapi sekali lagi kita hanya berikhtiar, Allah jualah (Zat yang memiliki nama-nama indah) yang menentukannya.

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. (QS. 91.9)

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. 3-185)


Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar