Rabu, 14 Januari 2009

Bab 5. Apa Konsep Anda Tentang Bekerja?

Bab 5
Apa Konsep Anda Tentang Bekerja?
Oleh Zanit Arbi

Beberapa hari yang lalu ketika saya dan seorang teman boncengan berhenti di sebuah perempatan yang ada lampu "bangjo" nya, tiba-tiba seorang pemuda yang menggendong anak mendekati kami. Dengan wajah sedikit muram dan kecut, pemuda itu mengacungkan tangan untuk meminta uang. Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah biasa saya temui di beberapa perempatan atau perlimaan di kota Solo. Entah itu pemuda yang "malas" bekerja, ataupun anak remaja dengan "akting" wajah memelasnya, mengharapkan belas kasihan dari pengendara motor atau mobil yang sedang menunggui lampu hijau menyala.
Namun kali ini saya sedikit merenungkan apa yang terjadi di perempatan tersebut, teman yang saya bonceng pun seakan mengiyakan apa yang menjadi perenungan saya, "Eh, sudah baca artikel yang di majalah komputer itu gak?" tanyanya dengan penuh semangat. "Hehe, tentu saja sudah, saya jadi inget artikel itu pas di perempatan tadi."
Mmm .. ya, artikel singkat yang ditulis Zatni Arbi (Pengamat Teknologi Informasi) tersebut memang cukup menggugah saya untuk berpikir tentang pemuda di perempatan tadi. Artikel ini juga menggugah saya untuk lebih intropeksi diri, apakah saya juga layak mendapatkan gaji / upah di tempat saya bekerja sekarang ini? Sudahlah klien ataupun bos "puas" dengan apa yang saya kerjakan? Berikut artikel lengkapnya.
Suatu malam, saya diantar seorang teman dengan sepeda motor ke sebuah ATM. ATM ini berada di sebuah
kompleks pertokoan yang tidak jauh dari rumah saya. Karena sudah larut malam, lapangan parkir perkantoran itu kosong. Saya masuk ke ATM sementara teman saya menunggu di atas sepeda motor.
Setelah saya mengambil uang tunai dan bersiap-siap untuk meninggalkan kompleks itu, seorang anak muda menghampiri kami. Dia minta uang parkir. Saya agak kesal. Untuk apa dia minta uang parkir? Lapangan parkir kosong sementara sepeda motor ditunggui teman saya. Sama sekali tidak ada jasa yang diberikan si anak muda ini.
Tapi, tentu saja saya tidak berani bikin gara-gara hanya karena uang Rp.1000,00. Meski begitu, saya tetap penasaran. Apa yang membuat dia merasa berhak untuk memungut uang? Sambil tersenyum dan menyerahkan uang ke tangannya, saya bertanya, "Sudah malam dan sepi begini, mengapa kami masih ditagih uang parkir?" Dia menjawab, "Kalau tidak dapat uang parkir, saya tidak makan ..."
Di rumah, saya termenung. Memang benar, saat ini ada banyak sekali orang yang menganggur. Apakah benar pengangguran sepenuhnya disebabkan kesempatan kerja yang makin sempit?
Kalau ingin mendapatkan uang untuk makan, bukankah orang harus berusaha. Bukankah Tuhan sudah menjanjikan, rezeki akan datang kalau manusia mau berusaha?
Konsep Bekerja

Belakangan ini saya memang sering berpikir untuk melakukan penelitian mengenai konsep "bekerja" dan "berusaha" di kalangan masyarakat. Apakah mengamen di warung-warung di sepanjang Jalan Sabang, misalnya, bisa dianggap bekerja?
Herbert Applebaum, seorang antropolog, menawarkan definisi bekerja: "Bekerja adalah suatu aktivitas produktif yang mengakibatkan perubahan fisik dan sosial pada lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia."
"Kalau tidak ada uang parkir, saya tidak makan," kata anak muda di ATM tadi. Lalu, apakah dengan demikian dia berhak memungut uang parkir meski tidak ada kebutuhan kami yang dipenuhinya?
Orang bisa berkilah, setidak-tidaknya dia telah memberikan rasa aman kepada kami. Tapi, bukankah ancaman terhadap rasa aman kami justru berasal dari kehadirannya di tempat yang sepi dan gelap itu?
Ada satu hal yang tampaknya perlu diajarkan pada masyarakat, terlepas dari agama yang dianut, yaitu konsep "bekerja" dan "berusaha" yang benar. Rasanya, konsep yang benar adalah bahwa kita hanya berhak mengharapkan imbalan bila kita telah memberikan nilai tambah pada mereka yang telah menikmati hasil jerih payah kita.
Dulu, ketika Pasar Melawai di Blok M, Jakarta, belum terbakar, ada seorang pengamen yang menjadi favorit saya setiap kali saya makan siang di salah satu restoran Padang di sana. Dia pandai bermain gitar dengan irama keroncong yang manis, suaranya lumayan dan lagu-lagu yang dibawakannya sungguh mengasyikkan. saya selalu memberinya uang, karena ada sesuatu yang bernilai yang dilakukannya buat saya.
Tapi anak muda di tempat parkir tadi atau pengamen yang hanya bermodal rebana tetapi tidak akan berhenti merecoki kita sampai kita memberinya uang, atau Pak Ogah yang justru menghambat mobil kita ketika hendak berbelok sewaktu lalu lintas pas sedang sepi, atau siapapun yang melakukan hal semacam itu, tidak akan pernah menikmati uang yang saya berikan dengan penuh keikhlasan.
Prinsip "bekerja" seperti di atas seharusnya juga berlaku bagi setiap profesional, termasuk profesional di bidang teknologi informasi. Sama seperti pengamen favorit saya di pasar Blok M itu, seorang profesional sejati barulah berhak mendapat imbalan bila dia telah memberikan nilai tambah bagi kliennya.
Sebaliknya seorang profesional juga harus memiliki integritas yang tinggi. Dia tidak boleh ragu-ragu menolak proyek yang berada di luar lingkup keahliannya. Soalnya, bila dia gagal memenuhi kebutuhan klien, sesungguhnya dia tidak berhak mengajukan invoice-nya. (zatni(at)cbn.net.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar